hari ini aku telat bangun lagi, semalam banyak waktu yang terbuang hanya untuk duduk dan memandang langit. aku baru tersadar jika hari bergerak lebih cepat dari perkiraanku. Hari ini kamis tanggal 9 april 2009, ada dua perayaan sekaligus di Indonesia saat ini, perayaan kamis putih bagi umat kristiani dan perayaan pemilihan umum caleg lokal. Aku hanya ingin menghadiri perayaan yang pertama. Aku tidak pernah tega disuruh untuk mencontreng para caleg. Apapun alasannya, memilih artinya memberi makan orang kaya ketimbang orang yang benar-benar memerlukan uluran tangan.
Tapi baru setengah jam bangun, aku langsung di telpon bapak.
"Surat suaramu ada di rumah,sama ibumu".
"Keluarga kita jangan sampai golput".
"Jam sembilan kita pergi ke TPS bersama, kami tunggu".
telpon langsung terputus. Bapak tidak pernah memberiku peluang untuk berkomentar, selalu begitu. Selang beberapa menit, aku mandi dan bersiap-siap. Aku takut di omeli karena telat.
"jangan lupa dukung suami saya ya, nomer sekian"
Sambutan itu terlontar ketika aku keluar dari kediamanku.
Dia ibu temanku, seorang tetangga yang jarang keluar rumah.
"Tenang tante, sesuai pesanan contrengnya".
Maksudku agar tidak mengecewakannya.
Kuhidupkan kendaraanku, mungkin agak kencang bunyinya jika masih dalam suasana pagi. Ada yang menepuk pundakku.
"Heh, om panggil dari tadi ndak menyahut. Oye, nyontreng dimane?" katanya.
Setahuku dia juga caleg, karena sering jarang dirumah, apalagi ketika pak RT mengundangnya untuk kerja bhakti di gang.
"Disuruh pulang ke rumah, kata Bapak surat suaraku ada disana. Jadi milih bersama keluarga", jawabku.
"oyeke, dalah kalo gitu, tapi jangan sampe ndak mileh om ye, partai merah tu".
Dan sekali lagi aku menjawab,
"tenang om, contreng sesuai pesanan".
Entah senang atau hanya ekspresi, dia menepuk pundakku berkali-kali.
Dan supaya tidak berlama-lama membahas om tersebut di tulisan ini, aku langsung tancap pulang kerumah. Setibanya aku di rumah orangtuaku, ada rapat keluarga. tepatnya Konferensi Meja Makan. Disana sudah ada Bapak, Ibu, dan tiga abangku. mereka adalah kumpulan orang yang senang berbicara. Propesi mereka meliputi, orang yang senang nonton reality show, orang yang berambisi menjadi presenter gosip di televisi, orang yang sering mangkal di warung kopi, dan beberapa pendengar setia, salah satunya aku. aku memilih diam dan mendengar penjelasan teknis kepergian menuju TPS sampai pada pengambilan keputusan mencoblos.
Rapat itu kemudian sepakat menyatukan mufakat untuk memilih orang yang sama. Bapak sebagai pemimpin sidang memberikan contekan nama "Caleg Pilihan Kelurga" dan dibagikan satu persatu kepada kami semua. Aku menurut saja.
Sesampainya di TPS, pikiranku mulai bimbang. Saat namaku di panggil petugas, aku bergegas menuju bilik suara, Bapak dan Ibu memberi kode supaya aku melihat kertas contekan partai apa dan siapa yang dipilih.
Tapi semauku saja.
Jujur aku hanya pengoleksi kertas contekan yang handal, tetapi tidak untuk membacanya. Tulisan Bapak di contekan tersebut tidak ku baca. Emang ini ujian nasional apa.
Aku makin bingung ketika membuka kertas pilihan, ckckckk.... hampir semua yang mencalonkan diri adalah orang yang tidak ku kenal. Malas aku jadinya. Kertas itu kulipat lagi. Pura-pura aku sudah selesai memilih, ku tuju kotak suara dan memasukkan kertas suara ke dalam kotak. Aku aktor yang baik.
Kertas contekan itu ku simpan rapi di saku celana, untuk bekal di kemudian hari. Tapi sore tadi ku temukan, kertas contekan tersebut sudah menyatu dengan sukses, celanaku di cuci sehabis pulang dari TPS. Dia menjadi saksi bisu adegan pencoblosan yang di sepakati oleh keluarga besarku.
Tapi baru setengah jam bangun, aku langsung di telpon bapak.
"Surat suaramu ada di rumah,sama ibumu".
"Keluarga kita jangan sampai golput".
"Jam sembilan kita pergi ke TPS bersama, kami tunggu".
telpon langsung terputus. Bapak tidak pernah memberiku peluang untuk berkomentar, selalu begitu. Selang beberapa menit, aku mandi dan bersiap-siap. Aku takut di omeli karena telat.
"jangan lupa dukung suami saya ya, nomer sekian"
Sambutan itu terlontar ketika aku keluar dari kediamanku.
Dia ibu temanku, seorang tetangga yang jarang keluar rumah.
"Tenang tante, sesuai pesanan contrengnya".
Maksudku agar tidak mengecewakannya.
Kuhidupkan kendaraanku, mungkin agak kencang bunyinya jika masih dalam suasana pagi. Ada yang menepuk pundakku.
"Heh, om panggil dari tadi ndak menyahut. Oye, nyontreng dimane?" katanya.
Setahuku dia juga caleg, karena sering jarang dirumah, apalagi ketika pak RT mengundangnya untuk kerja bhakti di gang.
"Disuruh pulang ke rumah, kata Bapak surat suaraku ada disana. Jadi milih bersama keluarga", jawabku.
"oyeke, dalah kalo gitu, tapi jangan sampe ndak mileh om ye, partai merah tu".
Dan sekali lagi aku menjawab,
"tenang om, contreng sesuai pesanan".
Entah senang atau hanya ekspresi, dia menepuk pundakku berkali-kali.
Dan supaya tidak berlama-lama membahas om tersebut di tulisan ini, aku langsung tancap pulang kerumah. Setibanya aku di rumah orangtuaku, ada rapat keluarga. tepatnya Konferensi Meja Makan. Disana sudah ada Bapak, Ibu, dan tiga abangku. mereka adalah kumpulan orang yang senang berbicara. Propesi mereka meliputi, orang yang senang nonton reality show, orang yang berambisi menjadi presenter gosip di televisi, orang yang sering mangkal di warung kopi, dan beberapa pendengar setia, salah satunya aku. aku memilih diam dan mendengar penjelasan teknis kepergian menuju TPS sampai pada pengambilan keputusan mencoblos.
Rapat itu kemudian sepakat menyatukan mufakat untuk memilih orang yang sama. Bapak sebagai pemimpin sidang memberikan contekan nama "Caleg Pilihan Kelurga" dan dibagikan satu persatu kepada kami semua. Aku menurut saja.
Sesampainya di TPS, pikiranku mulai bimbang. Saat namaku di panggil petugas, aku bergegas menuju bilik suara, Bapak dan Ibu memberi kode supaya aku melihat kertas contekan partai apa dan siapa yang dipilih.
Tapi semauku saja.
Jujur aku hanya pengoleksi kertas contekan yang handal, tetapi tidak untuk membacanya. Tulisan Bapak di contekan tersebut tidak ku baca. Emang ini ujian nasional apa.
Aku makin bingung ketika membuka kertas pilihan, ckckckk.... hampir semua yang mencalonkan diri adalah orang yang tidak ku kenal. Malas aku jadinya. Kertas itu kulipat lagi. Pura-pura aku sudah selesai memilih, ku tuju kotak suara dan memasukkan kertas suara ke dalam kotak. Aku aktor yang baik.
Kertas contekan itu ku simpan rapi di saku celana, untuk bekal di kemudian hari. Tapi sore tadi ku temukan, kertas contekan tersebut sudah menyatu dengan sukses, celanaku di cuci sehabis pulang dari TPS. Dia menjadi saksi bisu adegan pencoblosan yang di sepakati oleh keluarga besarku.
0 tanggapan:
Posting Komentar