fotografi adalah kerja ilmiah panjang mewujudkan mimpi mengabadikan pantulan citra di cermin. Mimpi melanggengkan apa yang pernah kita lihat atau lakukan dan menjadikannya jejak (atau bahkan saksi) sejarah yang kita bangun. Rekaman visual dalam bentuk lukisan dan karya grafis, selain terlalu mahal, dianggap tak lagi memenuhi tuntutan kecepatan dan efisiensi modernitas. Fotografi adalah bagian dari percepatan zaman yang terobsesi efisiensi mekanis.
Di lain pihak, di tengah seluruh keterdugaan fotografi, pencarian terhadap faktor-faktor tak terduga dari medium ini menjadi obsesi tersendiri di kalangan fotografer. Mereka berusaha mencari dan menampilkan unsur-unsur nonmekanis dalam karya-karya mereka, yang tidak lagi bisa diukur secara teknis. Para fotografer potret, berusaha merenggut ke luar dan menampilkan nyawa, karakter, dan keunikan individual subyek-subyek yang mereka potret. Sehingga apa yang kita lihat di dalam foto bukanlah sekadar tampilan luar tapi juga pancaran kedalamannya. Namun untuk mencapai kualitas itu, para fotografer tak bisa tidak harus menggunakan kemungkinan-kemungkinan teknis yang disediakan fotografi.
Optimisme yang didasarkan pada rasionalitas fotografi sebagai hasil dari teknologi itu ternyata harus berhadapan dengan bentuk irasionalitas lain. Pemujaan magis dan religius pada karya seni yang telah disekulerkan oleh reproduksi mekanis, ternyata berhasil membangun tradisi otentisitas baru yang tidak lagi perlu bergantung pada ketunggalan, tetapi dengan memasukkannya ke dalam sistem yang mengendalikan karakter alamiah reproduktifnya. Sebab di ruang itu aspek estetis fotografi-lah yang mengemuka, mengesampingkan potensi makna lain yang ditanamkan ketika foto itu dibuat. Museum dan galeri-lah yang mengubah fotografi menjadi obyek yang melulu diperhatikan kualitas estetisnya: menjadi obyek seni. Tahap selanjutnya adalah membangun nilai finansial obyek tersebut, mengikuti tradisi dan aturan main dari seni rupa yang lebih dulu terbentuk.
Sampai sekarang, perbincangan ini masih terus berlangsung sebagaimana tampak jelas dari bermacam karakter yang dikembangkan berbagai festival foto di dunia, dari festival yang mengeksplorasi batas fotografi dokumenter dan seni, festival yang memberi ruang lebih lebar pada kemungkinan-kemungkinan fotojurnalistik, sampai festival yang dipenuhi galeri-galeri yang mewakili fotografer/seniman dan memasarkan karya mereka. Namun, praktek-praktek ini masih terlalu dini untuk dijadikan acuan melihat perkembangan fotografi dan seni.
Namun, di lain pihak, melihat fotografi dengan perspektif kualitas formalnya belaka, melalui kaca mata seni rupa, sebenarnya mengesampingkan sebagian besar praktek fotografi lainnya: jurnalistik, mode, iklan, dan tentu saja snapshots (foto-foto yang dibuat dengan ketulusan). Foto KTP, paspor, sinar X, mikroskopis, makroskopis, foto ulang tahun, perkawinan, foto studio komersial yang tersebar di setiap penjuru adalah keseharian modern kita. Citra-citra fotografis inilah yang memengaruhi cara kita berpakaian, makan, berpikir, berpendapat, dan bahkan cara kita lahir dan mati.
Kedekatan fotografi pada realitas yang bersejajar dengan kecenderungan kita untuk lebih percaya apa yang kita lihat (seeing is believing), membuat perpanjangan hubungan kita dengan realitas kita terima sebagai realitas itu sendiri. Susan Sontag menyebut gejala ini sebagai super-tourism. Layaknya pelancong zaman sekarang, keberadaan, pengalaman, dan hubungan dengan tempat yang dikunjungi seolah tidak pernah ada bila tidak ada foto yang menjadi bukti. Memori kita pun kemudian tidak mengacu pada pengalaman kita langsung, tetapi pada foto yang menunjukkan keberadaan kita di sana.
Penerimaan kita terhadap informasi yang diberikan foto sering kali mengandaikan begitu saja (atau abai pada) praktek-praktek yang dilakukan saat pembuatan foto tersebut, dan hanya berkonsentrasi pada fotonya. Sehingga kosakata yang kita pakai untuk sebuah foto sering kali tak ubahnya seperti pertemuan langsung dengan apa yag ditampilkan foto tersebut.
Dunia kita semakin visual. Semakin lama kita semakin rapat dikelilingi citra yang semakin canggih. Seakan kata perlahan digantikan citra. Waktu yang kita habiskan untuk membaca semakin dikurangi waktu kita untuk menonton. Semakin jarang kita merekam pengalaman dengan catatan buku harian, sebab melihat foto atau video-nya jauh lebih menyenangkan. Namun, walaupun kita sudah begitu terbiasa menerima segala yang datang secara visual, tidak otomatis kita aktif pula secara visual, sebagaimana otak kita aktif bekerja mencerna kata, huruf, dan tulisan. Terhadap citra, terlalu banyak hal yang kita andaikan, tanpa pernah perlu memeriksa lebih jauh pemahaman kita atasnya. Sebab, kita tak pernah dididik secara sistematis untuk itu.
Para penulis budaya visual, termasuk di dalamnya para teoritikus fotografi, iklan, film, dan televisi, sering mengingatkan bahwa pada dasarnya dunia datang kepada kita pertama-tama secara visual. Kita mengenali ibu kita sebelum kita mampu menyebutnya "ibu", apalagi menulis kata "ibu". Kita juga melihat bentangan waktu yang sangat panjang antara lukisan pertama dan tulisan pertama di dunia. Lebih banyak contoh dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa dunia literal yang menguasai kesadaran kita sekarang relatif lebih muda dibandingkan dunia visual. Karena itu yang kita butuhkan sekarang adalah kembali ke dasar pemahaman kita dulu, yang bersifat visual. Kita perlu mengasah kembali kesadaran dan kepekaan visual kita yang sebenarnya sudah pernah kita pakai sampai kita mengenal kata dan bahasa.
Di lain pihak, di tengah seluruh keterdugaan fotografi, pencarian terhadap faktor-faktor tak terduga dari medium ini menjadi obsesi tersendiri di kalangan fotografer. Mereka berusaha mencari dan menampilkan unsur-unsur nonmekanis dalam karya-karya mereka, yang tidak lagi bisa diukur secara teknis. Para fotografer potret, berusaha merenggut ke luar dan menampilkan nyawa, karakter, dan keunikan individual subyek-subyek yang mereka potret. Sehingga apa yang kita lihat di dalam foto bukanlah sekadar tampilan luar tapi juga pancaran kedalamannya. Namun untuk mencapai kualitas itu, para fotografer tak bisa tidak harus menggunakan kemungkinan-kemungkinan teknis yang disediakan fotografi.
Optimisme yang didasarkan pada rasionalitas fotografi sebagai hasil dari teknologi itu ternyata harus berhadapan dengan bentuk irasionalitas lain. Pemujaan magis dan religius pada karya seni yang telah disekulerkan oleh reproduksi mekanis, ternyata berhasil membangun tradisi otentisitas baru yang tidak lagi perlu bergantung pada ketunggalan, tetapi dengan memasukkannya ke dalam sistem yang mengendalikan karakter alamiah reproduktifnya. Sebab di ruang itu aspek estetis fotografi-lah yang mengemuka, mengesampingkan potensi makna lain yang ditanamkan ketika foto itu dibuat. Museum dan galeri-lah yang mengubah fotografi menjadi obyek yang melulu diperhatikan kualitas estetisnya: menjadi obyek seni. Tahap selanjutnya adalah membangun nilai finansial obyek tersebut, mengikuti tradisi dan aturan main dari seni rupa yang lebih dulu terbentuk.
Sampai sekarang, perbincangan ini masih terus berlangsung sebagaimana tampak jelas dari bermacam karakter yang dikembangkan berbagai festival foto di dunia, dari festival yang mengeksplorasi batas fotografi dokumenter dan seni, festival yang memberi ruang lebih lebar pada kemungkinan-kemungkinan fotojurnalistik, sampai festival yang dipenuhi galeri-galeri yang mewakili fotografer/seniman dan memasarkan karya mereka. Namun, praktek-praktek ini masih terlalu dini untuk dijadikan acuan melihat perkembangan fotografi dan seni.
Namun, di lain pihak, melihat fotografi dengan perspektif kualitas formalnya belaka, melalui kaca mata seni rupa, sebenarnya mengesampingkan sebagian besar praktek fotografi lainnya: jurnalistik, mode, iklan, dan tentu saja snapshots (foto-foto yang dibuat dengan ketulusan). Foto KTP, paspor, sinar X, mikroskopis, makroskopis, foto ulang tahun, perkawinan, foto studio komersial yang tersebar di setiap penjuru adalah keseharian modern kita. Citra-citra fotografis inilah yang memengaruhi cara kita berpakaian, makan, berpikir, berpendapat, dan bahkan cara kita lahir dan mati.
Kedekatan fotografi pada realitas yang bersejajar dengan kecenderungan kita untuk lebih percaya apa yang kita lihat (seeing is believing), membuat perpanjangan hubungan kita dengan realitas kita terima sebagai realitas itu sendiri. Susan Sontag menyebut gejala ini sebagai super-tourism. Layaknya pelancong zaman sekarang, keberadaan, pengalaman, dan hubungan dengan tempat yang dikunjungi seolah tidak pernah ada bila tidak ada foto yang menjadi bukti. Memori kita pun kemudian tidak mengacu pada pengalaman kita langsung, tetapi pada foto yang menunjukkan keberadaan kita di sana.
Penerimaan kita terhadap informasi yang diberikan foto sering kali mengandaikan begitu saja (atau abai pada) praktek-praktek yang dilakukan saat pembuatan foto tersebut, dan hanya berkonsentrasi pada fotonya. Sehingga kosakata yang kita pakai untuk sebuah foto sering kali tak ubahnya seperti pertemuan langsung dengan apa yag ditampilkan foto tersebut.
Dunia kita semakin visual. Semakin lama kita semakin rapat dikelilingi citra yang semakin canggih. Seakan kata perlahan digantikan citra. Waktu yang kita habiskan untuk membaca semakin dikurangi waktu kita untuk menonton. Semakin jarang kita merekam pengalaman dengan catatan buku harian, sebab melihat foto atau video-nya jauh lebih menyenangkan. Namun, walaupun kita sudah begitu terbiasa menerima segala yang datang secara visual, tidak otomatis kita aktif pula secara visual, sebagaimana otak kita aktif bekerja mencerna kata, huruf, dan tulisan. Terhadap citra, terlalu banyak hal yang kita andaikan, tanpa pernah perlu memeriksa lebih jauh pemahaman kita atasnya. Sebab, kita tak pernah dididik secara sistematis untuk itu.
Para penulis budaya visual, termasuk di dalamnya para teoritikus fotografi, iklan, film, dan televisi, sering mengingatkan bahwa pada dasarnya dunia datang kepada kita pertama-tama secara visual. Kita mengenali ibu kita sebelum kita mampu menyebutnya "ibu", apalagi menulis kata "ibu". Kita juga melihat bentangan waktu yang sangat panjang antara lukisan pertama dan tulisan pertama di dunia. Lebih banyak contoh dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa dunia literal yang menguasai kesadaran kita sekarang relatif lebih muda dibandingkan dunia visual. Karena itu yang kita butuhkan sekarang adalah kembali ke dasar pemahaman kita dulu, yang bersifat visual. Kita perlu mengasah kembali kesadaran dan kepekaan visual kita yang sebenarnya sudah pernah kita pakai sampai kita mengenal kata dan bahasa.
0 tanggapan:
Posting Komentar