hiruk pikuk jalan tol menemani perjalananku hari ini. Usai penat meraja di tenggorokan, aku menikmati tempat duduk di bengkel yang tak jauh dari tol kapuas. kala itu, ban bocor tak terkendali. Aku merasa bersalah di buatnya sebab itu motor bang Hendra, abang nomer tiga yang tercatat di urutan Kartu Keluarga kami.
"De, ndak bise di tambal, bocor besar. Mending ganti, IRC 35 jak" ujar pemilik bengkel sekaligus montir disitu.
Aku tersenyum dan merogoh saku. Sisa 42 ribu. Cukuplah pikirku. Kemudian aku duduk lagi sambil melempar pandangan ke orang-orang yang lalu lalang. Dari sekian banyak orang disana, yang menarik perhatianku hanyalah Bapak penyapu jalan. Beliau seperti punya dunia sendiri. Dunia yang tak menghiraukan apapun kecuali kerja dan tanggung jawab. Aku menghampirinya dengan niat mendapat arti pengalaman darinya.
"Misi pak" aku memulai percakapan dengan cara itu.
Beliau menoleh "Silakan dek, lewat jak".
Nada ramah itu kusambut dengan menyodorkan tangan.
"Haha,bukan mo lewat pak. Saye dede, kebetulan tadi duduk disitu (bengkel). Dari tadi liat Bapak membersihkan jalan. Boleh pinjam waktunye untok ngomong-ngomong".
Beliau menjabat tanganku erat.
"Boleh,boleh. Bentar jak ye, soalnye kerjaan Bapak belom selesai".
Aku mengangguk. Rasa bersalah menyelimutiku karena menunda pekerjaannya.
Ditemani secangkir kopi di samping bengkel, kami bercerita banyak hal. Tentang Pontianak, tentang warga sekitar dan tentang beliau. Katanya, upah menyapu hanya 300 ribu perbulan tanpa embel-embel subsidi dari pemerintah. Dari gaji itulah beliau hidup. Menyapu jalan merupakan tugas berbahaya. Menurut beliau, seringkali pengendara motor hampir menabraknya ketik sedang membersihkan trotoar. Mungkin hal kecil akan lebih berguna jika diabdikan dengan tulus, itu menurut beliau. Aku menjabat tangan beliau untuk pamit karena hampir sunset. Senang mengenal beliau.
11 November 2008
BELIAU
Kawasan:
Tugas Narative Reporting
10 November 2008
TERHENTI
Tepat jam 12 siang. Udara menyengat gerah. Mataharipun sengaja menggigit kulit-kulit pengendara motor seperti kami. Aku salah satunya. Sementara kami berlomba-lomba sampai ke tujuan, motorku tiba-tiba dihentikan lampu merah. Tidak hanya aku yang begitu, beberapa orang disamping dan belakangku melakukan hal yang sama. Tapi ada pula orang-orang yang memilih jalan terus, mumpung tidak ada polisi. Jangankan RUU pornografi, peraturan lalu lintas saja mereka langgar. Tiba-tiba, BRAKK! Seorang pengendara yang jalan terus tadi ditabrak motor dari arah kiri kami. Mungkin disana sudah lampu hijau. Pengendara yang jalan terus tersebut terpental dua kaki dari trotoar. Tidak ada seorangpun yang menolongnya. Kami hanya jadi penonton setia karena baru saja melihat kebodohannya berkendara.
Kulihat mukanya bersimbah darah. Dua giginya jatuh ketanah. Aneh, dia menangis. Padahal lelaki itu sudah seumuran bapakku dirumah. Aku piker dia gila, meraung-raung di simpang empat lampu merah. Di tengah jalan pula. Selang beberapa menit, lampu hijau menyala di pihak kami. Kami berusaha lewat pinggir supaya tidak kena lelaki yang jatuh tadi. Tapi sungguh, raungan serta tangisan lelaki itu semakin kuat. Mendengung rasanya telingaku. Makin lama makin keras. Aku memberhentikan motor ku. Tiba-tiba ada yang menyentuhku katanya “de, bangun”. Aku terkejut lalu melihat sekeliling. Ternyata sudah pagi.
Selanjutnya...
Kulihat mukanya bersimbah darah. Dua giginya jatuh ketanah. Aneh, dia menangis. Padahal lelaki itu sudah seumuran bapakku dirumah. Aku piker dia gila, meraung-raung di simpang empat lampu merah. Di tengah jalan pula. Selang beberapa menit, lampu hijau menyala di pihak kami. Kami berusaha lewat pinggir supaya tidak kena lelaki yang jatuh tadi. Tapi sungguh, raungan serta tangisan lelaki itu semakin kuat. Mendengung rasanya telingaku. Makin lama makin keras. Aku memberhentikan motor ku. Tiba-tiba ada yang menyentuhku katanya “de, bangun”. Aku terkejut lalu melihat sekeliling. Ternyata sudah pagi.
Kawasan:
Tugas Narative Reporting
05 November 2008
JANGAN BENCI SEKOLAHMU
Penulis pernah membaca berkali-kali di situs pertemanan www.friendster.com tentang penghinaan tentang sekolah oleh beberapa siswa siswi yang menjadi anggota di situs tersebut dan mendengar dari beberapa orang dengan bahasa yang khas bahwa sekolah hanya bikin bosan, sekolah yang tidak berbobot dan sebagainya. Sebenarnya mereka mulai sekolah itu berdasarkan keputusan dua belah pihak, orangtuanya dan pihak siswa itu sendiri. Mereka seharusnya tidak menyalahkan sekolah yang telah memberi mereka motivasi buat maju, tetapi mengintropeksi diri bahwa merekalah yang tidak mengerti akan dunia pendidikan yang sebenarnya. Dugaan penulis, bahwa yang tidak mencintai sekolah hanyalah siswa siswi yang pernah bermasalah disekolahnya atau bisa jadi mereka hanyalah murid-murid bebal yang sering anjlok prestasi sekolah mereka.
Teman-teman, sekolah bisa dibilang merupakan rumah kedua kita. Gimana enggak, hamper setiap hari kita pergi kesekolah. Kalo ada ekstrakurikuler dan bimbel, jadi tiap hari deh ke sekolah! Nah, karena itulah, sebelum kita memutuskan sekolah mana yang akan kita masuki, lebih baik kita pilih dulu deh mana yang terbaik buat pengembangan diri kita. Tapi jangan sampai sekolah tersebut membuat kita tidak betah, apalagi akan menghabiskan waktu dan biaya yang lumayan. Apa menurut pendapat teman-teman tentang sekolah yang sangat berperan besar? Apakah kalian memilih kualitas ketimbang jaraknya? Ataukah memilih jarak tempuh yang lumayan dekat agar bisa menghemat biaya? Itu terserah teman-teman menyikapinya, yang pasti banyak pertimbangan-pertimbangan. Ada pula yang memilih sekolah bukan karena jarak, tapi karena metode sekolah yang sesuai dengan keinginannya. Tapi kalo dapat sekolah yang dekat dan berkualitas, itu merupakan hal yang lebih bagus lagi.
Pertama, jangan menetukan pilihan hanya karena faktor gengsi. Kedua, pertimbangkan faktor “kenyamanan” bagi si anak dengan memperhatikan lingkungan sekolah tersebut, jangan sampai membuat tertekan. Ketiga, pilihlah sekolah yang memiliki ideology atau kepercayaan (Sekolah Agama Kepercayaan) yang seazas dengan yang di anut keluarga, kecuali ia menganut faham kebebasan dalam menetukan pilihan. Keempat, perlu diperhatikan fasilitas sekolah dan kualitas para pendidiknya. Apakah mampu menciptakan lulusan yang berkualitas dalam hal ilmu pengetahuan dan kepribadian. Kelima, pertimbangkanlah jarak lokasi sekolah dengan tempat tinggal sehubungan dengan sarana dan kondisi kesehatan (Sekolah Kesehatan) serta dampaknya. Keenam, sesuaikan kemampuan dengan kondisi keluarga dengan beban biaya pendidikan yang ditetapkan. Terakhir, beri kesempatan kepada anak untuk ikut menentukan pilihannya dengan memberikan gambaran yang jelas tentang situasi dan nilai yang dimiliki oleh sekolah yang akan dipilih dan harapan orang tua atas keberhasilan anak tidak hanya dibidang akademik tapi juga non akademik.
Selanjutnya...
Teman-teman, sekolah bisa dibilang merupakan rumah kedua kita. Gimana enggak, hamper setiap hari kita pergi kesekolah. Kalo ada ekstrakurikuler dan bimbel, jadi tiap hari deh ke sekolah! Nah, karena itulah, sebelum kita memutuskan sekolah mana yang akan kita masuki, lebih baik kita pilih dulu deh mana yang terbaik buat pengembangan diri kita. Tapi jangan sampai sekolah tersebut membuat kita tidak betah, apalagi akan menghabiskan waktu dan biaya yang lumayan. Apa menurut pendapat teman-teman tentang sekolah yang sangat berperan besar? Apakah kalian memilih kualitas ketimbang jaraknya? Ataukah memilih jarak tempuh yang lumayan dekat agar bisa menghemat biaya? Itu terserah teman-teman menyikapinya, yang pasti banyak pertimbangan-pertimbangan. Ada pula yang memilih sekolah bukan karena jarak, tapi karena metode sekolah yang sesuai dengan keinginannya. Tapi kalo dapat sekolah yang dekat dan berkualitas, itu merupakan hal yang lebih bagus lagi.
Pertama, jangan menetukan pilihan hanya karena faktor gengsi. Kedua, pertimbangkan faktor “kenyamanan” bagi si anak dengan memperhatikan lingkungan sekolah tersebut, jangan sampai membuat tertekan. Ketiga, pilihlah sekolah yang memiliki ideology atau kepercayaan (Sekolah Agama Kepercayaan) yang seazas dengan yang di anut keluarga, kecuali ia menganut faham kebebasan dalam menetukan pilihan. Keempat, perlu diperhatikan fasilitas sekolah dan kualitas para pendidiknya. Apakah mampu menciptakan lulusan yang berkualitas dalam hal ilmu pengetahuan dan kepribadian. Kelima, pertimbangkanlah jarak lokasi sekolah dengan tempat tinggal sehubungan dengan sarana dan kondisi kesehatan (Sekolah Kesehatan) serta dampaknya. Keenam, sesuaikan kemampuan dengan kondisi keluarga dengan beban biaya pendidikan yang ditetapkan. Terakhir, beri kesempatan kepada anak untuk ikut menentukan pilihannya dengan memberikan gambaran yang jelas tentang situasi dan nilai yang dimiliki oleh sekolah yang akan dipilih dan harapan orang tua atas keberhasilan anak tidak hanya dibidang akademik tapi juga non akademik.
Kawasan:
tetes tinta
Langganan:
Postingan (Atom)