PUBLISHED BY

alamuda

DESIGNED BY

jangan paksa aku berjalan jika aku ingin terbang

12 Juli 2009

CERITAKU SAMPAI DIMANA?

seingatku sewaktu kecil, kami seringkali membuat tanda salib di dalam hati saja, terkadang di bawah meja, bahkan membelakangi kerumunan orang. Hal itu kami lakukan karena seringkali kami di anggap agama yang kafir oleh orang-orang di sekitar kami. Jika tanda salib terang-terangan, kami malah di jauhi dan di ejek kafir oleh mereka. Kami juga sering di ajak menyangkal Kristus oleh teman sebaya, teman sekelas bahkan tetangga sebab komunitas katholik di daerahku, hanya aku dan keluargaku. Kebanyakan dari mereka menganut agama "mayoritas".

Berkali-kali hasutan itu mendengung di telinga dan berkali-kali pula aku berkeinginan menanggalkan identitas katholik dalam diri, hampir bisa, tapi kemudian aku kembali lagi pada iman katholik itu. Sebab aku sadar, dalam keseharianku telah mengalir banyak kebiasaan katholik, salah satunya ajaran cinta kasih.


Aku mulai mencari keberadaan Tuhan. Kutemukan Dia dalam setiap kegagalan-kegagalan dan berbagai buku yang sudah aku baca. Aku lihat Tuhan dalam setiap kesempatan. Tapi anehnya, seringkali nama Tuhan hanya hadir saat aku bosan, aku sedih dan ketika aku murka. Tuhan jarang terlibat dalam sukacita dan rasa gembiraku. Ku pelajari hal itu berkali-kali.

Katholik bagitu hanya baju pinjaman dari bangsa penjajah terdahulu, bukan warisan turun temurun dari nenek moyangku. Sebab setahuku, nenek moyangku hanya menyembah pohon dan batu. Tapi semakin aku menyangkal sejarah, semakin itu pula penegasan bahwa aku ini katholik. Biarlah nenek moyangku punya pemikiran berbeda tentang iman dan pengharapan. Sebagai penghargaan atas apa yang diciptakan nenek moyangku, kini agamanya dijadikan adat istiadat, bukan anutan agama. Semoga saja ada celah rasa damai di antara keduanya, bukan untuk dibanding-bandingkan.

Namun secara garis besar, aku tidak diberikan hak untuk memilih agama. Sesuai kenyataan, aku sudah di babtis menjadi katholik sejak bayi pada umur 6 bulan. Kemudian bertumbuh bersama keluarga besar yang percaya pada kristus. Katholik bagiku bagaikan baju yang siap pakai. Tidak ada kesempatan untuk menentukan apakah baju itu serasi di badan dan jika tidak kita bisa mencari baju lain yang cocok dengan selera dan cara hidup kita. Tapi sungguhpun begitu, katholik masuk dalam duniaku sejak aku masih dalam pertumbuhan hingga kini, disaat aku menjelaskan kisah ini lewat tulisanku sekarang.

Kristus menjadi iman sejati sejak aku mengenal komunitas gereja serta kegiatan Orang Muda Katholik didalamnya. Aku sadar begitu besar damai yang dipertaruhkan dalam zona ini. Ketika begitu banyak orang yang menyia-nyiakan Tuhan, tapi aku tetap berikeras mencari-Nya kemanapun aku berada, agar aku lebih percaya pada-Nya, bukan hanya sebatas sabda yang ku dengar di gereja dan kitab suci. Kini, tiap ada waktu, komunikasi pada Tuhan mulai ku jalin. Kujadikan Dia saudara kandungku, agar aku lebih bisa terbuka bercerita apapun pada-Nya. Sebab rahasia hatiku hanya Dia yang tahu.

Aku pernah berpaling meninggalkan Kristus selama 4 tahun setika sahabat terbaikku benar-benar direbut oleh Dia. Payah, tidak satupun yang memberi tahu aku akan penderitaan sahabatku itu, satu-satunya yang memberikan jawaban hanyalah kematiannya karena kanker payudara yang di derita. Aku mulai membenci Tuhan seperti aku membenci diriku sendiri. Yang ku perbuat hanya menutup diri pada dunia sekitar sampai akhirnya aku terima kenyataan itu. Mulai saat itulah, aku tidak percaya akan adanya teman, siapapun itu, yang ku ketahui, teman bisa di beli dengan uang. Dan satu hal lagi yang tidak aku suka, beberapa kali dari mulut mereka seringkali berbohong dengan alasan yang sudah aku tahu triknya. Teman-teman seperti itu kebanyakan keseringan tidak jujur. Dan fatalnya, mereka katholik.

Itu yang kubenci dari orang yang mengaku dirinya katholik. Tipe-tipe seperti itu merupakan tipe penyangkal dan hanya ingin pekerjaan instant. Terkesan asal-asalan dan cepat puas tanpa harus tahu proses. Padahal setiap mendengar bacaan injil, para katholik itu memberi tanda salib di sekitar kening, mulut dan hati mereka. Gerakan tangan dengan arti memberkati pikiran, perkataan dan perbuatan mereka. Tapi tetap saja setelah bacaan injil dan keluar dari gereja, penyangkalan tetap mengalir di mulut mereka. Seakan menyembah Tuhan hanya kewajiban rutinitas tiap minggu, bukan karena rindu ikut ajaran Tuhan. Itu letak pencibiranku pada katholik sebatas identitas.

Pikiran, perkataan dan perbuatan yang telah di berkati itu merupakan cerminan prilaku seseorang. Jika tidak menghargai berkat itu, berarti tidak menghargai pribadinya sendiri. Untuk itulah, mungkin kusimpulkan kesempatan dan kepercayaan hanya sekali saja, tapi seringkali mereka menyia-nyiakan keduanya. Hanya itu yang ingin kutegaskan, bahwa kejujuran bukan di cari tapi diciptakan.

0 tanggapan: