PUBLISHED BY

alamuda

DESIGNED BY

jangan paksa aku berjalan jika aku ingin terbang

10 Juli 2009

RAPAT KELUARGA

Seperti biasa, bangun siang lagi. Ku lirik ponselku, sepuluh lewat empat puluh tiga menit. Aku langsung menyambar handuk, bergegas menuju kamar mandi. Kali ini tidak pake acara joget di kamar mandi, waktu ku tidak cukup. Dari arah kamar ku dengar dering ponselku. Maklum volume tiga, lumayan mendengung.
Tiga menit saja untuk mandi dan gosok gigi. Aku berlari kecil menuju kamar atas.

“Kau dimana sekarang, kami udah tunggu dari jam sembilan tadi!”

itu suara bapak.
Terkesan berat dan memaksa.

“Bentar lagi pulang ke rumah, tunggu bentar, masih ada yang di urus!”

Tuut,tuut…
Sambungan putus!

Hmm, seperti biasa, Bapak tidak mengizinkanku memberikan alasan keterlambatan. Setelah siap, aku langsung ambil kunci dan STNK serta SIM, menuju kendaraan untuk tancap gas ke rumah dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Laju ku bawa kendaraanku, mungkin hanya sekitar 25 menit perjalanan saking cepatnya. Tak sadar sudah sampai depan rumah. Baru jejak kakiku ke teras, aku di sambut dengan suara Ibu.

“Waduh, Bapak udah tunggu dari tadi. Kau ketiduran lagi?”

Pertanyaan Ibu itu terlontar sambil menatap aku melepas alas kaki. Aku balas menatap ibu sambil senyum. Tidak ada kataku yang terlontar. Aku hanya mencium tangan kanannya, adat yang di terapkan keluarga kami ketika masuk rumah. Dia balas mengelus pundakku.

“Kapan kau bisa disiplin, udah besar, pikirkan umur, sia-sia kalo kau sering telat”

Aku mengangguk, senyum lagi menatap Ibu. Beliau hanya geleng-geleng kesal. Ku tuntun tangannya masuk ke arah ruang makan. Disana sudah ada Bapak dan Bang Hendra juga Bang Hendri.

“Telat lagi dek?” singgung bang Hendra.
“Mending tinggal di rumah orang tua daripada ngekost, bangun pagi,makan tanggung pula” katanya lagi.

Ku beri kode padanya agar tak komentar banyak, takut bapak dengar.
Bapak diam saja, sibuk dengan korannya.
Bang Hendri sibuk dengan ponselnya.
Bang Hendra sibuk dengan ekor kucing yang membelai kakinya.
Sedangkan Ibu…Hmm…Dia ada disampingku.
Bapak buka suara akhirnya.

“Kata abangmu, kau mau berenti dari kerjaanmu yang sekarang ya?"
"Udah bulat keputusanmu?” tanya Bapak.

Aku diam, pura-pura buka SMS di ponsel.

“Eh, Bapak tanya tu” kata bang Hendra menyenggol bahuku lalu merebut ponselku.

Aku jengkel.
“Iya pak” jawabku singkat.

“Kau udah punya rencana untuk cari kerja lain?”
“Jaman sekarang cari kerja ndak mudah, apalagi kau memilih tinggal sendiri sekarang” kata Bapak lagi.
“Pikirkan dulu, nanti kalo nganggur siap ndak tanpa uang jajan, jangan jadi beban orang tua” kata bang Hendri.

Aku merasa terhakimi keluargaku sendiri.

“Bang Hendra mo beri modal untuk buka usaha. Jadi aku tertantang untuk berenti kerja, deadline nya bulan juli ini, ” singgungku pada bang Hendra.

Dia menatapku.
Bapak menatapnya.
Bang Hendri ikut-ikutan Bapak menatapnya.
Bang Hendra salah tingkah.

“Punya modal berapa kau beri adikmu?” selidik Bapak.
“Itu kan masih aku pikirkan” jawabnya santai.
“JANJI PALSU!!!!” teriakku di telinganya.

Semoga saja tidak tuli seumur hidup.
Bang Hendra menatapku sambil mengusap telinganya.
Bapak hanya geleng-geleng kepala.
Ibu mengusap bahuku kesekian kalinya.
Aku hampir menangis saat itu.

“Pamit aku, mo pulang ke kost” kataku.

Aku berlalu dengan kesal. Sepertinya bertahan hidup hanya adegan main-main bagi keluargaku.

0 tanggapan: