PUBLISHED BY

alamuda

DESIGNED BY

jangan paksa aku berjalan jika aku ingin terbang

26 Juli 2009

TIGA HARI BERSAMA HARI ANAK SINGKAWANG

Untuk kedua kalinya, aku di undang Lembaga Wahana Visi Indonesia ADP Singkawang menjadi fasilitator kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan yang diselenggarakan 23-25 juli 2009 di Pondok Camping Pantai Pasir Panjang II. Panitia penyelenggaranya Forum Anak Daerah kota Singkawang yang sepenuhnya atas bimbingan dari Wahana Visi Indonesia ADP Singkawang. Sesi pertama yang kubawakan tentang Isu Hak dan Perlindungan Anak yang mengangkat tujuh isu besar mencakup kesehatan, pendidikan, HIV/AIDS, Akta Kelahiran, Traficking dan Partisipasi. Untuk itu, kugunakan kertas metaphone untuk mempermudah penjelasan tentang Hak Anak tersebut.

Pada waktu jam istirahat, mereka kuajak berdiri berpasangan, samping kiri pemandu jalan, samping kanan tutup mata. Mereka harus berjalan menuju meja konsumsi yang terletak agak jauh dari Aula kegiatan untuk mengambil makanan dengan tuntunan teman disebelahnya. Setelah sampai di meja konsumsi dan mengambil makanan, mereka bergantian menjadi penuntun dan yang di tuntun.

Setelah jam istirahat berakhir, ku bawa mereka ke tepi pantai untk role play dengan metode "Test Kejujuran" sebab sesuai aturan, pemimpin wajib menghargai keadaan dan lingkungannya. Ku tanamkan doktrin positif itu kepada seluruh peserta sebelum memulai permainan. Mereka terdiri dari remaja SMP dan SMA yang begitu antusias. role play tersebut berlangsung jam 15.15-16.45 wib. Setelah itu mereka beristirahat.

Kulanjutkan sesi jam 18.00-21.00 wib dengan isu global warming yang mengupas fakta dan penyebab terjadinya pemanasan global di bumi, salah satunya efek rumah kaca terbesar yakni industri peternakan. Kusertakan pula aksi lingkungan yang harus mereka terapkan seperti hemat air, hemat energi, mengurangi tumpukan sampah dunia, dan penghijauan mulai dari lingkungan terdekat kita. Setelah penjelasan itu, ku ajak mereka untuk menuangkan apresiasi mereka tentang penyelamatan bumi dengan membuat majalah dinding yang hiasannya berasal dari alam seperti ranting, pasir, daun kering dan rumput.

Hari kedua, sesiku hanya satu saja, refleksi. Kukumpulkan peserta di aula dengan mata tertutup kain dan saling berpegangan erat satu sama lain. Kutertibkan mereka dengan satu hak peserta saja yakni hanya mendengar tapi tidak boleh mengeluarkan suara sepatah katapun. Kusediakan lima titik pemberhentian, tapi rutenya hanya sekitar aula perkemahan saja.

Titik pertama, peserta dengan posisi berdiri di aula. Berceritalah aku tentang penyadaran akan arti kepemimpinan sebenarnya. Kemudian mereka berjalan perlahan dan tetap berpegangan tangan. Ku refleksikan mereka tentang keikutsertaan mereka selama dua hari di perkemahan yang berarti mereka layak dan dengan sungguh-sungguh berperan dalam pembentukan jati diri sebagai pemimpin masa depan.

Titik kedua, peserta dengan posisi jongkok. Kusinggung prilaku yang mereka cerminkan selama dua hari bahwa maih banyak yang melanggar kontrak belajar padahal sudah di sepakati dan dirumuskan bersama oleh dan untuk peserta. Hanya satu hukuman disiplin yang aku terapkan yaitu motivasi. Hal kecil yang dapat menjadi pukulan hebat jika diabaikan.

Titik ketiga, peserta dengan posisi berbaring. Ku ajak mereka memperbaiki keadaan. Gagal bukan berarti tidak bisa mencoba lagi. Yang menjadi objek moral adalah kesadaran dan peran serta peserta dalam berkarya. tapi jika pengendalian diri tersebut belum muncul sepenuhnya, pelatihan kepemimpinan ini akan berakhir dengan sia-sia. Mulai ku ajak mereka untuk intropeksi diri, mengapa mudah emosi, jarang mengampuni kesalahan orang lain, selalu menolak ketika di beri tugas dan menyalahgunakan kepercayaan orang tua.

Titik ke empat, peserta dengan posisi telungkup. Ku ajak mereka menemukan alasan mengapa ikut serta dalam Latihan Kepemimpinan. Apakah hanya ingin berlibur saja, ataukah hanya ingin lari dari rutinitas sekolah. Aku tidak tahu. Kutumbuhkan kesadaran mereka untuk siap menerima yang terjadi dan selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Sebab jika mereka hanya menjadi pendengar dan penonton saja, mereka tidak akan jadi apa-apa.

Titik terakhir, semua peserta duduk bersila. Kuluapkan perasaan capek panitia dan peserta. Kugambarkan dengan pengorbanan yang sia-sia. Ku ajak mereka menjadi pribadi yang santun dan tegar saat menghadapi cobaan. Ku ajak mereka merenung dan dengan hentakan suaraku, ketegaskan mereka dengan bersama-sama mengangkat kepalan tangan ke atas dan berseru lantang "Aku Anak Indonesia yang kreatif, Inovatif, Unggul dalam menghadapi tantangan masa depan".

Setelah waktu ku rasa cukup, dengan hitungan ke tiga, ku ajak mereka mata bersamaan disertai hidupnya lampu Aula. Mereka kemudian ku ajak membakar permohonan dan harapan akan nasib anak Indonesia di luar sana yang haknya belum terpenuhi. Mereka membakar kertas permohonan di api lilin yang sudah tersedia.

Akhir dari pertemuan itu, dua orang peserta yang berulang tahun pada hari itu meniup lilin yang di sertai dengan sayup-sayup nyanyian peserta dan panitia lain di aula itu. Suasana jadi penuh haru dan hangat akan kebersamaan.

Selanjutnya...

15 Juli 2009

USIR SEPI JIKA SEPI DATANG LAGI

Kali ini bergerak ke arah tepian sungai bagian selatan, ketika tidak ada lagi daftar aktivitas ku yang dapat mengusir penat. Ku pacu laju kendaraan, berlomba dengan sengatan matahari yang bisa menghitamkan kulit. Tidak lupa seperti biasa, aku bekal tas ransel dari rumah, isinya kamera digital, Netbook Sony, buku tulis, pensil, Charger Nokia, Cokelat batang, air dingin mineral dan Buku Cerita Hiroshima. Berbekal itu semua, aku cari tempat penghilang penat itu selama dua jam, tapi yang ku dapat hanya lahan tandus bekas pemukiman penduduk yang sengaja di tinggal empunya.

Ku pandangi tempat itu agak lama, mungkin ada tempat rindang untuk rebah diri. Tapi setidaknya sudah ada beberapa tempat di sekitar itu yang aku kunjungi. Setelah itu aku lanjutkan lagi menelusuri tempat tersebut, makin ke selatan. Pandangan ku terhenti pada sebuah tepian dermaga di sana. Senyum ku terukir. Aku menambatkan kendaraan ku di pemukiman tak jauh dari sana. Untuk pergi ke dermaga itu, aku terpaksa jalan kaki.

Wuih sejuk angin menyegarkan otak ku. Makin senyum aku. Serasa orang bebas ketika tiba di sana. Aku langsung duduk di tepian, mengeluarkan air dingin mineral dan cokelat batangan yang aku simpan di ransel. Aku menikmati ketenangan sungai di dermaga itu. Sesekali dermaga di hantam ombak yang datang dari motor air yang bergerak hilir mudik mengangkut penumpang di ujung dermaga. Aku menikmati suasana seperti itu. Pikirku, jika kota pontianak jauh dari polusi seperti dermaga ini, aku pasti sanggup tinggal disana berlama-lama. Tapi sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan sifat instant penduduk kota, polusi pula semakin mereka budidayakan.

Selanjutnya...

12 Juli 2009

CERITAKU SAMPAI DIMANA?

seingatku sewaktu kecil, kami seringkali membuat tanda salib di dalam hati saja, terkadang di bawah meja, bahkan membelakangi kerumunan orang. Hal itu kami lakukan karena seringkali kami di anggap agama yang kafir oleh orang-orang di sekitar kami. Jika tanda salib terang-terangan, kami malah di jauhi dan di ejek kafir oleh mereka. Kami juga sering di ajak menyangkal Kristus oleh teman sebaya, teman sekelas bahkan tetangga sebab komunitas katholik di daerahku, hanya aku dan keluargaku. Kebanyakan dari mereka menganut agama "mayoritas".

Berkali-kali hasutan itu mendengung di telinga dan berkali-kali pula aku berkeinginan menanggalkan identitas katholik dalam diri, hampir bisa, tapi kemudian aku kembali lagi pada iman katholik itu. Sebab aku sadar, dalam keseharianku telah mengalir banyak kebiasaan katholik, salah satunya ajaran cinta kasih.


Aku mulai mencari keberadaan Tuhan. Kutemukan Dia dalam setiap kegagalan-kegagalan dan berbagai buku yang sudah aku baca. Aku lihat Tuhan dalam setiap kesempatan. Tapi anehnya, seringkali nama Tuhan hanya hadir saat aku bosan, aku sedih dan ketika aku murka. Tuhan jarang terlibat dalam sukacita dan rasa gembiraku. Ku pelajari hal itu berkali-kali.

Katholik bagitu hanya baju pinjaman dari bangsa penjajah terdahulu, bukan warisan turun temurun dari nenek moyangku. Sebab setahuku, nenek moyangku hanya menyembah pohon dan batu. Tapi semakin aku menyangkal sejarah, semakin itu pula penegasan bahwa aku ini katholik. Biarlah nenek moyangku punya pemikiran berbeda tentang iman dan pengharapan. Sebagai penghargaan atas apa yang diciptakan nenek moyangku, kini agamanya dijadikan adat istiadat, bukan anutan agama. Semoga saja ada celah rasa damai di antara keduanya, bukan untuk dibanding-bandingkan.

Namun secara garis besar, aku tidak diberikan hak untuk memilih agama. Sesuai kenyataan, aku sudah di babtis menjadi katholik sejak bayi pada umur 6 bulan. Kemudian bertumbuh bersama keluarga besar yang percaya pada kristus. Katholik bagiku bagaikan baju yang siap pakai. Tidak ada kesempatan untuk menentukan apakah baju itu serasi di badan dan jika tidak kita bisa mencari baju lain yang cocok dengan selera dan cara hidup kita. Tapi sungguhpun begitu, katholik masuk dalam duniaku sejak aku masih dalam pertumbuhan hingga kini, disaat aku menjelaskan kisah ini lewat tulisanku sekarang.

Kristus menjadi iman sejati sejak aku mengenal komunitas gereja serta kegiatan Orang Muda Katholik didalamnya. Aku sadar begitu besar damai yang dipertaruhkan dalam zona ini. Ketika begitu banyak orang yang menyia-nyiakan Tuhan, tapi aku tetap berikeras mencari-Nya kemanapun aku berada, agar aku lebih percaya pada-Nya, bukan hanya sebatas sabda yang ku dengar di gereja dan kitab suci. Kini, tiap ada waktu, komunikasi pada Tuhan mulai ku jalin. Kujadikan Dia saudara kandungku, agar aku lebih bisa terbuka bercerita apapun pada-Nya. Sebab rahasia hatiku hanya Dia yang tahu.

Aku pernah berpaling meninggalkan Kristus selama 4 tahun setika sahabat terbaikku benar-benar direbut oleh Dia. Payah, tidak satupun yang memberi tahu aku akan penderitaan sahabatku itu, satu-satunya yang memberikan jawaban hanyalah kematiannya karena kanker payudara yang di derita. Aku mulai membenci Tuhan seperti aku membenci diriku sendiri. Yang ku perbuat hanya menutup diri pada dunia sekitar sampai akhirnya aku terima kenyataan itu. Mulai saat itulah, aku tidak percaya akan adanya teman, siapapun itu, yang ku ketahui, teman bisa di beli dengan uang. Dan satu hal lagi yang tidak aku suka, beberapa kali dari mulut mereka seringkali berbohong dengan alasan yang sudah aku tahu triknya. Teman-teman seperti itu kebanyakan keseringan tidak jujur. Dan fatalnya, mereka katholik.

Itu yang kubenci dari orang yang mengaku dirinya katholik. Tipe-tipe seperti itu merupakan tipe penyangkal dan hanya ingin pekerjaan instant. Terkesan asal-asalan dan cepat puas tanpa harus tahu proses. Padahal setiap mendengar bacaan injil, para katholik itu memberi tanda salib di sekitar kening, mulut dan hati mereka. Gerakan tangan dengan arti memberkati pikiran, perkataan dan perbuatan mereka. Tapi tetap saja setelah bacaan injil dan keluar dari gereja, penyangkalan tetap mengalir di mulut mereka. Seakan menyembah Tuhan hanya kewajiban rutinitas tiap minggu, bukan karena rindu ikut ajaran Tuhan. Itu letak pencibiranku pada katholik sebatas identitas.

Pikiran, perkataan dan perbuatan yang telah di berkati itu merupakan cerminan prilaku seseorang. Jika tidak menghargai berkat itu, berarti tidak menghargai pribadinya sendiri. Untuk itulah, mungkin kusimpulkan kesempatan dan kepercayaan hanya sekali saja, tapi seringkali mereka menyia-nyiakan keduanya. Hanya itu yang ingin kutegaskan, bahwa kejujuran bukan di cari tapi diciptakan.

Selanjutnya...

10 Juli 2009

RAPAT KELUARGA

Seperti biasa, bangun siang lagi. Ku lirik ponselku, sepuluh lewat empat puluh tiga menit. Aku langsung menyambar handuk, bergegas menuju kamar mandi. Kali ini tidak pake acara joget di kamar mandi, waktu ku tidak cukup. Dari arah kamar ku dengar dering ponselku. Maklum volume tiga, lumayan mendengung.
Tiga menit saja untuk mandi dan gosok gigi. Aku berlari kecil menuju kamar atas.

“Kau dimana sekarang, kami udah tunggu dari jam sembilan tadi!”

itu suara bapak.
Terkesan berat dan memaksa.

“Bentar lagi pulang ke rumah, tunggu bentar, masih ada yang di urus!”

Tuut,tuut…
Sambungan putus!

Hmm, seperti biasa, Bapak tidak mengizinkanku memberikan alasan keterlambatan. Setelah siap, aku langsung ambil kunci dan STNK serta SIM, menuju kendaraan untuk tancap gas ke rumah dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Laju ku bawa kendaraanku, mungkin hanya sekitar 25 menit perjalanan saking cepatnya. Tak sadar sudah sampai depan rumah. Baru jejak kakiku ke teras, aku di sambut dengan suara Ibu.

“Waduh, Bapak udah tunggu dari tadi. Kau ketiduran lagi?”

Pertanyaan Ibu itu terlontar sambil menatap aku melepas alas kaki. Aku balas menatap ibu sambil senyum. Tidak ada kataku yang terlontar. Aku hanya mencium tangan kanannya, adat yang di terapkan keluarga kami ketika masuk rumah. Dia balas mengelus pundakku.

“Kapan kau bisa disiplin, udah besar, pikirkan umur, sia-sia kalo kau sering telat”

Aku mengangguk, senyum lagi menatap Ibu. Beliau hanya geleng-geleng kesal. Ku tuntun tangannya masuk ke arah ruang makan. Disana sudah ada Bapak dan Bang Hendra juga Bang Hendri.

“Telat lagi dek?” singgung bang Hendra.
“Mending tinggal di rumah orang tua daripada ngekost, bangun pagi,makan tanggung pula” katanya lagi.

Ku beri kode padanya agar tak komentar banyak, takut bapak dengar.
Bapak diam saja, sibuk dengan korannya.
Bang Hendri sibuk dengan ponselnya.
Bang Hendra sibuk dengan ekor kucing yang membelai kakinya.
Sedangkan Ibu…Hmm…Dia ada disampingku.
Bapak buka suara akhirnya.

“Kata abangmu, kau mau berenti dari kerjaanmu yang sekarang ya?"
"Udah bulat keputusanmu?” tanya Bapak.

Aku diam, pura-pura buka SMS di ponsel.

“Eh, Bapak tanya tu” kata bang Hendra menyenggol bahuku lalu merebut ponselku.

Aku jengkel.
“Iya pak” jawabku singkat.

“Kau udah punya rencana untuk cari kerja lain?”
“Jaman sekarang cari kerja ndak mudah, apalagi kau memilih tinggal sendiri sekarang” kata Bapak lagi.
“Pikirkan dulu, nanti kalo nganggur siap ndak tanpa uang jajan, jangan jadi beban orang tua” kata bang Hendri.

Aku merasa terhakimi keluargaku sendiri.

“Bang Hendra mo beri modal untuk buka usaha. Jadi aku tertantang untuk berenti kerja, deadline nya bulan juli ini, ” singgungku pada bang Hendra.

Dia menatapku.
Bapak menatapnya.
Bang Hendri ikut-ikutan Bapak menatapnya.
Bang Hendra salah tingkah.

“Punya modal berapa kau beri adikmu?” selidik Bapak.
“Itu kan masih aku pikirkan” jawabnya santai.
“JANJI PALSU!!!!” teriakku di telinganya.

Semoga saja tidak tuli seumur hidup.
Bang Hendra menatapku sambil mengusap telinganya.
Bapak hanya geleng-geleng kepala.
Ibu mengusap bahuku kesekian kalinya.
Aku hampir menangis saat itu.

“Pamit aku, mo pulang ke kost” kataku.

Aku berlalu dengan kesal. Sepertinya bertahan hidup hanya adegan main-main bagi keluargaku.

Selanjutnya...