PUBLISHED BY

alamuda

DESIGNED BY

jangan paksa aku berjalan jika aku ingin terbang

04 Maret 2009

KELUARGAKU DAN IDEALISME

“semua darah dagingku tidak pernah kubedakan. Ku beri pancing untuk kalian berusaha dalam hidup, bukan umpan yang langsung jadi”
(Bapakku, Agustus 2002)


Bapakku, seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil yang terkenal kental otoritasnya di keluargaku. Beliau juga Abdi Negara yang terlalu patuh aturan, hampir separuh hidupnya dihabiskan di meja kantor, ditumpukan berkas. Bahkan berkas-berkas tersebut hampir memenuhi lemari kerja serta kamar tidurnya.

Dulu beliau terkenal dengan sifat dingin, sering memaksakan kehendak serta bertemperamen amat keras. Tapi satu hal yang ku pelajari dari beliau, idealis dan jujur. Beliau selalu menganjurkan kami untuk menghukum diri sendiri jika salah ataupun bertindak gegabah. Waktu kecil, aku dan abangku sering merasakan didikannya. Tidak pernah ada waktu Bapak untuk bercanda dan pergi liburan dengan keluarganya. Sosok sang workaholic sejati menurutku. Tapi kini, tidak satupun yang mengenal sosok yang kusebutkan tadi. Kami anak-anaknya, tetangga kami bahkan orang-orang yang pernah dibantunya. Tinggallah sosok yang letih, pelupa dan sering panik. Aku sedih jika ingat masa-masa itu.

Boleh dibilang aku jarang berkomunikasi pada mereka sebab separuh hidupku kuhabiskan dengan beraktivitas di luar rumah. Bahkan kuambil keputusan untuk tidak tinggal bersama mereka lagi. Pertimbanganku begitu banyak, salah satunya beban pekerjaan. Bukan enyah begitu saja masa indah bersama mereka di rumah, tetapi ingat masa depanku untuk apa.

Pekerjaan inilah sebabnya mengapa aku menulis seperti sekarang.

Aku senang dengan kebebasan dengan batasan-batasan positif yang ku anut dengan tetap bersikap apa adanya. Aku melalui hidupku dengan berbekal sikap Bapak yang idealis tanpa mengesampingkan masa mudaku. Kuhabiskan hari-hariku dengan aktif di organisasi dan pekerjaan media yang ku anggap tak pernah usai.

Dari kecil hingga saat ini aku masih senang menulis. Menulis apapun yang ku anggap penting dan harus di mengerti. Seringkali aku menghabiskan waktu dengan buku dan pulpen. Aku merupakan manusia yang hanya bisa bercerita dengan tulisan. Aku tergolong orang yang takut penolakan ketika mengungkapkan sesuatu. Jadi ku tulis saja di kertas, jika di minta baru kubacakan. Perkara selesai. Orangtuaku saja menganggapku anak yang tidak pernah bisa untuk basa basi seperti halnya saudaraku yang lain. Mungkin karena didikan keras dari Bapak dan Abang tertuaku.

Oya, abang tertuaku juga sama kerasnya dengan sifat Bapak. Saking kerasnya, pernah waktu aku masih duduk di kelas III SD di tampar hanya gara-gara tidak mengerjakan PR sekolah. Bagiku dia terlalu angkuh untuk menjadi seorang saudara. Semasa dia sekolah saja, semua permintaannya harus di turuti. Semoga saja sekarang dia sadar atas kekhilafannya terdahulu.

Karena Bapak dan abang tertuaku terlanjur kuperkenalkan, maka sekalian saja ku bahas tentang ibuku.

Sosok ibu menurutku tidak berbeda jauh dengan ibu di masyarakat kebanyakan. Sosok yang tegar, pekerja keras dan tidak pernah putus asa dengan segala persoalan rumah tangga. Aku suka dia. Lembut dan selalu mengajarkan kami bagaimana membagi kasih dengan sesame yang memerlukan. Terkadang beliau mengeluh kepadaku jika keuangan keluarga berada di masa sulit, tetapi tetap saja ada cara bijaksana darinya untuk mencari tambalan uang supaya dapur tetap ngepul. Aku salut dengan kegigihannya itu, hanya saja aku tidak seperti beliau.

Aku pemalas dan penyakitan. Jika bekerja terlalu keras atau lembur, besoknya pasti panas tinggi bahkan sampai mimisan di hidung. Keadaanku selalu begitu jika terlalu banyak beraktivitas. Aku terdoktrin dengan setting dunia monoton. Bangun pagi jam 8, bersih-bersih kamar, mandi setengah jam kemudian pergi ke kantor hingga jam 4 sore, setelah itu baru lanjut mengurus organisasi sosial sampai larut malam. Begitu seterusnya dan tak perlu kuceritakan berulang-ulang.

Untuk pekerjaan itu, aku di kantorku di percayakan sebagai coordinator media yang bertugas untuk design kalender, cetak bulletin Teladan Anak Kalimantan yang terbit tiap bulan, update website kantor, cetak buku kegiatan dan check email. Semua terjadwal dengan rapi sebab kalau tidak, aku bakal lalai. Maklum aku orangnya pelupa jika tidak terjadwal atau di catat. Dulunya aku kewalahan karena semua dikerjakan sendirian, tetapi kini ada beberapa staff yang sedia membantu.

Abangku yang ketiga sangat khawatir dengan keadaanku saat ini.

Masih muda dan hidup jauh dari orang tua pula, itu katanya. Sering ia berbicara denganku lewat telepon, kadangkala ia mengirimkan SMS motivasi bagaimana berjuang hidup. Hanya dia yang dekat denganku dari kecil. Umurnya lebih tua dua tahun dariku. Karena itulah, dia kujadikan tempat mengadu sekaligus abang yang paling kuandalkan jika berbagi cerita hidup. Bersama keluargaku, aku membangun idealism sejak usia dini.

Sebelumnya, abangku yang satu itu sudah merasakan apa saja yang kukeluhkan padanya. Tadi barusan ia menelpon tentang keseharianku saat ini. Hampir satu jam dia berbicara padaku lewat telepon. Obrolan kami mendadak serius ketika menanggapi menanggapi pekerjaan kami di kantor. Katanya seperti kerja paksa, dalam istilah jepang romusa. Padahal mimpiku tidak ingin menjadi “kuli” bagi siapapun, tetapi mengapa tetap kukerjakan. Abang bilang tidak jaman lagi bersikap idealis karena sikap tersebut tidak membuat kita kaya malah membuat kita jadi “pesuruh” orang lain saja.

Sikap idealis baginya hanya sikap yang menunggu dan jalan di tempat sambil meratapi nasib. Padahal aku menjadikannya ikon idealis di keluargaku, tapi itu dulu sebelum dia lulus tes Pegawai Negeri Sipil di kabupaten empat tahun yang lalu. Kini dia memandang idealis sebagai sikap yang benar-benar di makan usia, kuno. Aku sempat kaget, tetapi kemudian mengerti kenapa sudut pandangnya seperti itu tentang arti idealism sebenarnya.

Katanya, Bapak pernah bilang padanya bahwa jaman sekarang untuk bertahan hidup tidak diperlukan lagi idealisme. Lihat keadaan Bapak dan pengabdiannya terhadap Negara dahulu, mati-matian untuk jujur dipekerjaannya tetapi malah tidak di anggap oleh atasan. Maka dari itulah, abang berharap padaku untuk tetap jujur tetapi jangan terlalu berfikir idealis dan diam saja ketika di tindas atasan di tempat kerja. Harus punya sikap dan etos kerja. Disela-sela pembicaraan kami, abang memintaku untuk meninggalkan pekerjaanku sekarang. Kerja tidak pernah setimpal dengan hak yang di dapat. Dia kesal padaku sebab jika bekerja aku tidak pernah membantah untuk mengerjakan apapun dan terlalu polos untuk bekerja tanpa memandang secara professional pekerjaan-pekerjaan itu.

Abang tahu aku ingin buka usaha sendiri supaya tidak jadi “kuli” orang lagi. Dia berjanji jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, dia akan berusaha mencarikan aku pekerjaan yang layak. Aku tahu itu pilihan, tapi harus di sertai pertimbangan dan keputusan yang tepat. Aku berharap ijazah D3 bahasa inggrisku berharga. Percuma kuliah jika tidak dipergunakan. Akupun mulai membangun mimpi untuk itu semua. Harapanku, aku bisa menjadi interpreter sekaligus pengusaha besar di negaraku. Aku bingung menetukan hidup.

Abang juga berbicara tentang banyak hal. Tentang kemandirian, tentang jati diri, tentang pengorbanan dan tentang pegangan hidup. Hamper habis baterai HP ku meladeni abang berbicara. Kami juga berbagi informasi tentang musik dan teknologi. Kegemaran kami sama, sama-sama suka musik dan teknologi. Baginya hidup harus tetap berkarya dan berkembang sesuai dengan zaman tanpa terbentur umur. Mimpinya dulu ingin menjadi Drummer kondang dan masuk dapur rekaman. Tapi sekarang malah kecantol di bidang pemerintahan, jadi abdi Negara juga kayak Bapak. Abangku yang satu ini sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dua kali Drop Out di dua Uneversitas yang berbeda. Aku tidak berani bertanya mengapa dia seperti itu. Padahal sewaktu dia kuliah, Bapak hanya mengandalkan uang pension untuk membiayai seluruh biaya hidup keluarganya.

Kami harus bersama-sama merasakan masa sulit keluarga. Saat Bapak pension, abang yang kedua naik pelaminan dan perlu biaya besar untuk mengadakan pesta pernikahan. Padahal aku baru lulus SMA dan harus kuliah menyusul abangku yang ketiga.

Sempat ada perasaan cemas tidak di sekolahkan.

Tapi Bapak baik. Dia tetap berusaha agar aku lanjut kuliah walaupun hanya Universitas yang biayanya paling murah dikotaku.

Saat itu semua perlu biaya. Untuk biaya bertahan hidup keluarga, untuk biaya masuk Universitasku, untuk biaya kuliah abang ketiga, untuk biaya pernikahan abang kedua, dan untuk biaya terapi abang tertuaku. Semua Bapak yang tanggung dengan sisa gaji pensiunnya yang sudah di potong oleh pemerintah daerah untuk tunjangan tak jelas. Bahkan ibuku rela jualan baju keliling kecamatan dan masuk hingga pelosok kampong sambil berjalan kaki di terik matahari. Kadang-kadang jika waktu luangku banyak, aku ikut berjualan dengan ibu. Aku sangat tertekan dengan masa genting seperti itu, tidak tega. Tetapi aku tidak berdaya saat itu sebab aku baru masuk kuliah.

Tapi setelah masuk semester empat, aku mulai memberanikan diri untuk bolak-balik Koran mencari lowongan kerja. Seingatku dengan berbekal ijazah SMA dan transkrip nilai, aku memasukkan lamaran kerja di tiga tempat yaitu rental pengetikan, stasiun radio lokal dan sebuah Bank swasta. Sebulan setelah pengumuman, aku di terima di dua tempat, rental pengetikan dan di stasiun radio lokal. Mulailah aku mengatur waktu untuk itu semua. Pagi menyiar di radio, siang mengetik di rental dan malam aku kuliah. Begitu seterusnya dengan harapan biaya kuliahku terpenuhi. Terkadang jika biaya kuliah banyak, aku minta bantuan pelunasan uang kuliah dengan abang kedua karena dia sudah bekerja di rumah sakit swasta di kotaku.

Begitu seterusnya aktivitasku hingga lulus kuliah. Kemudian aku berhenti dari pekerjaanku terdahulu, aku lanjut menjadi guru les intermediate tingkat SMA sekaligus pemusik kafe terapung dikotaku. Aku sibuk bekerja sampai lupa membangun relasi dengan teman-teman sepermainanku.

Sekitar tahun 2004, setelah berhenti dari sana, aku mulai mengutak atik internet otodidak dan mulai menjual design websiteku ke orang-orang. Promosinya lewat situs pertemanan seperti friendster.com, hi5.com, juga lewat websiteku sendiri. Promosiku juga sampai ke perusahaan makanan dan produk pakaian yang ingin memasarkan barangnya ke masyarakat. Senang sekali membicarakan hal ini karena peruntunganku besar waktu itu.

Tapi keinginanku untuk traveling sangat besar jadi aku memutuskan untuk bergabung di lembaga sosial yang mengurusi isu perdamaian di Kalimantan Barat. Aku bergabung disana dari tahun 2006 hingga sekarang. Tapi karena beberapa kendala teknis kantor, Aku dianjurkan untuk mengakhiri masa kerjaku disana oleh abang.

Sampai sekarang aku masih tetap dengan diamku. Apa yang terjadi selanjutnya jika aku tidak berfikir idealis. Aku percaya keadilan aka nada jika aku tidak diam seperti sekarang ini. Paling tidak memberikan shock therapy bagi sebagian orang jika tahu akan gebrakanku.

0 tanggapan: